MOMENTUM, Bandarlampung--Pada 2017 The Soufan Center menyebutkan ada 600 WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah, yang terdiri dari 113 perempuan, 100 anak-anak dan sisanya pria dewasa. Selanjutnta pada 2018 BNPT menyebutkan terdapat 1.321 WNI yang berusaha bergabung dengan ISIS di Suriah.
Sekitar 600 WNI eks ISIS masih berada di luar negeri. Sejumlah 47 orang di antaranya berstatus tahanan dan sebagian besar dari 553 WNI lainnya berada di kamp pengungsian. Jumlah tersebut tidak semua berhasil masuk ke Suriah.
Sebagian dari mereka digagalkan di dalam negeri, dideportasi oleh negara transit seperti Turki, dan banyak pula yang berhasil memasuki Suriah dan bergabug dengan ISIS. Jika dibandingkan maka jika jumlah WNI pendukung ISIS di Suriah dan sekitarnya saat ini adalah 600 orang cukup realistis.
Dari jumlah 600 WNI pendukung ISIS di Suriah tersebut sebagian besar diperkirakan adalah anak-anak dan perempuan yang menjadi pengungsi. Untuk pria dewasanya menjadi tahanan di otoritas setempat karena kasus terorisme. Tidak semua dari 600 WNI tersebut adalah Foreign Terrorist Fighters (FTF), ada juga yang hanya simpatisan karena mengikuti suami atau keluarganya.
Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mendesak pemerintah agar memulangkan seluruh WNI eks ISIS. Menurut dia, pemerintah tidak punya alasan secara hukum untuk tidak memulangkan warga negara yang disebut terpapar paham radikal itu.
"Kalau statusnya WNI ya dipulangkan, tapi diketati, dipilih. Mana yang memang melakukan kampanye ISIS, atau peran yang pengajakan penyebaran ideologi dan sebagainya, sampai orang yang melakukan kejahatan itu bisa diadili di Indonesia," kata Chairul Anam di Senayan, Jakarta, Sabtu, 8 Februari 2020.
Merespons Komnas HAM, Stanislaus Riyanta mengatakan, sikap lembaga kemanusiaan seperti Komnas HAM yang mendesak pemulangan 600 orang WNI eks kombatan ISIS asal Indonesia sangat abnormal. "Sangat aneh jika terus disuarakan, sementara pembelaan terhadap korban terorisme yang dampaknya adalah kematian, cacat seumur hidur, trauma dan lainnya lebih sepi terdengar," ujar Stanislaus kepada Tagar, Minggu, 9 Februari 2020.
Stanislaus beranggapan pembelaan Komnas HAM kepada 600 anggota ISIS asal Indonesia tersebut, apapun motif dan kepentingannya, sangat menyakiti hati masyarakat Indonesia yang sudah berulang kali menjadi korban terorisme.
"Lebih menyakitkan lagi tentu saja jika pembelaan dan pernyataan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah yang tugas utamanya seharusnya adalah memberantas terorisme, bukan menyiapkan bibit dan ladang bagi terorisme," ucapnya.
Analis Intelijen dan Terorisme Stanislaus Riyanta menduga pemerintah akan masuk perangkap apabila memulangkan 600 warga negara Indonesia (WNI) eks simpatisan ISIS yang kini nasibnya masih terlunta-lunta di Timur Tengah. Menurutnya pemerintah Indonesia dipropaganda untuk mengurus pengungsi asal Indonesia tersebar di tiga kamp yaitu di Al Roj, Al Hol, dan Ainisa, agar beban bagi kamp tersebut menjadi lebih ringan.
Stanislaus mengatakan pemerintah adalah kunci utama dari wacana pemulangan 600 anggota ISIS asal Indonesia ini.
Dia menguraikan, jika memerhatikan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan serta UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang antiterorisme, opsi pemulangan 600 anggota ISIS asal Indonesia bukan suatu pilihan.
"Pemerintah perlu memerhatikan dan mencatat dengan baik bahwa kepergian anggota ISIS tersebut dari Indonesia ke Timur Tengah adalah atas kesadaran sendiri, mereka berbaiat kepada organisasi teroris yang sudah dinyatakan terlarang," tuturnya.
Sementara itu, melansir dari Kompas TV, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku hal itu masih dalam proses pembahasan. Hingga saat ini, pemerintah masih menimbang sisi positif dan negatifnya. Pemerintah belum mengambil keputusan perihal pemulangan WNI eks ISIS.
"Kalau tanya ke saya, saya akan bilang tidak tapi masih dirataskan. Kita harus kalkulasi plus minusnya, secara detail. Keputusan itu akan kita ambil dalam rapat terbatas setelah mendengarkan paparan kementerian," ujar Jokowi.
Sedangkan, Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebutkan, pemerintah saat ini tengah mendata warga negara Indonesia (WNI) eks anggota Islamic State of Iraq and Syria ( ISIS). Menurut dia, hingga saat ini ada sekitar 600 WNI yang terkonfirmasi sebagai eks ISIS, dan ada 1.800 orang yang tak terkonfirmasi.
Pemerintah saat ini hanya membuat alternatif aturan hukum. Alternatif aturan hukum itu yaitu, pemerintah membentuk tim untuk memutuskan secara resmi nasib WNI eks ISIS. Sejauh ini, pemerintah telah memiliki dua draf terkait wacana pemulangan WNI eks ISIS, yaitu draf persetujuan pemulangan dan draf penolakan.
Sehingga pada Juni 2020, diharapkan presiden sudah dapat mengambil keputusan soal wacana pemulangan WNI terduga teroris lintas batas negara, terutmaa eks ISIS
Menurut penulis, ide yang disampaikan kepada Komnas HAM patut dicoba oleh pemerintah, karena pemerintah tidak dapat menilai semua eks WNI yang tergabung ISIS adalah salah, sebab keterlibatan mereka di ISIS juga berbeda-beda, yang pasti untuk penyelesaiannya tetap harus ada penghormatan terkait HAM bagi eks simpatisan ISIS tersebut, sehingga langkah pemerintah membuat aturan hukum sudah tepat agar ada langkah yang pasti dan pemerintah tidak disalahkan di kemudian hari.
Pendapat yang pro pada umumnya menilai pemerintah sebaiknya menerima atau memulangkan mereka karena alasan kemanusiaan, mereka juga korban agitasi dan propaganda yang mungkin semuanya terjadi karena minimnya literasi dan cipta opini yang dilakukan pemerintah, termasuk ada yang berpendapat mereka yang masih anak-anak, perempuan dan tidak pernah melakukan tindak pidana serta bukan kombatan masih layak diklasifikasi sebagai WNI.
Pendapat-pendapat ini juga patut dihargai dan dijadikan masukan, termasuk pendapat kalangan yang kontra seperti dikemukakan Stanislaus Riyanta, Ali Mochtar Ngabalin, rencana aksi unjuk rasa menolak mereka yang akan dilakukan kelompok atas nama Gerakan Rakyat Peduli Bangsa di Monas pada 10 Februari 2020 dan lain-lain juga patut diperhitungkan, yang pasti jangan terjadi “hiperbolisme” dari wacana ini, karena tidak menguntungkan bagi pemerintah ke depan.(**)
Oleh: Suyitno Nugroho Wahyudin. Penulis adalah pemerhati masalah kebangsaan.
Editor: Harian Momentum