MOMENTUM, Bandarlampung--Melewati perkampungan padat
penduduk, tibalah harianmomentum.com di Jalan Selatgaspar 11, Kampung Baru 3,
RT 01, LK 1, Kelurahan Panjang Utara, Kecamatan Panjang, Kota Bandarlampung,
Minggu (23-2-2020).
Di antara gang-gang sempit di perkampungan setempat (tidak
bisa dilalui mobil), kerumunan warga memadati sebuah bangunan (balay).
Mereka sedang menyaksikan sosialisasi peraturan daerah
(sosper) nomor 13 tahun 2017 terkait perlindungan anak yang disampaikan
legislator Provinsi Lampung asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dia adalah Kostiana, Sekretaris Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi Lampung.
Sosper tersebut terbilang cukup ramai. Ada kurang-lebih 200
peserta. Mulai dari kalangan ibu-ibu, bapak-bapak, hingga remaja. Sosper
semacam itu sudah menjadi kegiatan rutin bulanan para legislator. Baru di mulai
pada 2020.
Ada beberapa alasan Kostiana memilih sosper di lingkungan
yang terlihat sedikit ‘kumuh’ itu. Salah satunya karena wanita berhijab itu
menilai warga di wilayah setempat lebih perlu diperhatikan. Lebih perlu
mendapat bimbingan dan pengetahuan terkait perlindungan anak.
“Awalnya ibu (Kostiana) mau di Kedaton. Tapi saya lihat di
Kedaton aman-aman saja, tidak ada yang krusial,” kata istri dari legislator Provinsi
Lampung Yose Rizal itu.
Tak lama, ibu dari M. Yorico Al Farizi itu terfikir. Kenapa
tidak melakukan sosper di wilayah Panjang, yang notabennya adalah wilayah binaannya
sejak 2009 lalu.
"Saya sejak 2009 sudah masuk ke sini. Maka saya pahami
lokasi dan kondisi di wilayah ini. Maka saya minta koordinator, Pak Agus, untuk
mengalihkan sosper ke Panjang," jelasnya.
Kostiana beranggapan, pemahaman warga setempat terkait Perda
perlindungan anak masih minim. "Mungkin memahaman mereka bisa dikatakan
lebih minim di banding wilayah lain terkait perda ini," ujarnya.
Kostiana mengakui, Perda perlindungan anak perlu direvisi.
Khususnya dalam hal penulisan.
"Untuk perda ini kan masih banyak perbaikan-perbaikan.
Kita akan menyikapi hal ini agar diperbaiki dan diperjelas lagi, pasal demi
pasal. Terlebih ini adalah perda lama," terangnya.
Lebih lanjut dia mengucap syukur, ada agenda kerja bulanan
legislator dalam rangka mensosialisasikan perda.
"Dengan sosper ini masyarkat jadi tahu, perda apa saja yang kita buat. Jangan sampai perda yang telah disahkan tidak ada manfaatnya. Sebab kenyataannya banyak masyarakat kurang paham, kalau perda perlindungan anak ini ada," paparnya.
Sebelumnya, salah satu pemateri sosper, Fitri Setyani Dwiati
dari Lambaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Lampung sedikit mengkritisi isi
perda nomor 13 tahun 2017 terkait perlindungan anak.
Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu direvisi dalam
naskah perda tersebut. "Ada beberapa pasal, terutama tentang sanksi
administratif yang terlihat tidak mecing. Bahkan isinya belum tahu ini,"
ungkapnya.
Dia mencontohkan, ada sanksi administratif yang merujuk
kepada pasal 14 ayat a,b,c dan seterusnya. "Sedangkan di pasal 14 tidak
ada ayat-ayat. Terus ada lagi yang merujuk ke pasal 17 ayat lima. Tapi saat
kita buka di pasal 17, ayat limanya tidak ada, hanya ayat 1,2, dan 3,"
bebernya.
Bukan hanya itu, kata dia, ada juga pasal yang menghilang.
"Contoh dari pasal 46 loncat ke pasal 49, dan pasal 50. Sedangkan pasal
47-48 tidak ada. Terus dari bab 12 langsung meloncat ke bab 14. Bab 13 nya
tidak ada," ungkapnya.
Untuk itu, wanita berhijab itu menyarankan agar dalam
pembentukan perda diperhatikan ketelitiannya.
"Mungkin dari sistem penulisannya harus diteliti lagi.
Maka Perda ini dalam pembentukannya harus melibatkan akademisi yang dibentuk
dalam staf ahli pembentukan perda," imbaunya.
Sementara, pemateri lain dalam sosper tersebut, Toni Fisher,
mengemukakan bahwa dari 15 kabupaten/kota Bandarlampung menjadi wilayah paling
rawan tindak kekerasan terhadap anak.
"Dari data BPS, dari tahun ketahun memang begitu.
Apalagi kalau bicara angka kekerasan seksual. Bandarlampung masih kebagian.
kalau trafiking memang masih lebih tinggi Lampung Timur. Tapi untuk angka
kekerasan total terbesarnya adalah Bandarlampung," paparnya.
Salah satu faktor penyebab tingginya angka kekerasan di
Bandarlampung adalah telepon seluler.
"Sekarang anak umur 3 tahun sudah main gejet (telepon
seluler). Malas makan dan sebagainya, ini akibat salah satu dari pengaruh itu.
Sehingga pengetahuan anak akan perilaku dan tingkah laku terkadang lepas dari
orang tua," jelasnya.
Maka, sambung dia, peran orang tua harus dibangun.
"Jangan sampai karena mengejar tuntutan ekonomi, tumbuh kembang anak
terabaikan. Ini tantangan untuk semua orang tua di Bandarlampung,"
terangnya.(**)
Laporan/Editor: Agung Chandra Widi
Editor: Harian Momentum