Resiko Jadi Wartawan

img
Andi S Panjaitan, Pemred Harian Momentum

MOMENTUM-- Menjadi jurnalis adalah pilihan hidup. Disaat orang merayakan lebaran, kami tetap berjibaku dengan pemudik di terminal dan pintu tol.

Disaat sebagain besar muslim berkumpul dengan keluarganya kami masih di dermaga, stasiun dan di tempat vital lainnya untuk mencari berita.

Pun begitu disaat mayoritas orang salad Idul Fitri, kami tetap meliput. Menyiarkan suasana salat tersebut.

Bahkan disaat virus Corona merebak pun, kami harus tetap turun ke lapangan. 

Disaat Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan untuk kerja dari rumah pun, kami tetap tidak bisa mengikutinya.

Padahal kami ingin sekali. Hitung- hitung liburan sama keluarga di rumah karena lebih sering di luar.

Tapi, apa iya kami (kuli tinta) bisa melakukannya? Kalaupun dipaksakan tentu berat. Terlebih bagi wartawan televisi (Tv) yang harus mendapatkan rekaman video.

Pun begitu bagi jurnalis online atau media cetak. Meski tidak melulu harus turun ke lapangan, tapi keakuratan data dan pantauan merupakan bagian penting yang sulit dipisahkan dari rutinitas kami.

Jika kami tetap di rumah, lalu siapa yang akan meliput kegiatan bapak presiden? 

Siapa yang akan memberitakan kegiatan para menteri, kepala daerah dan anggota parlemen saat sidak ke lapangan? 

Mungkin untuk dokumentasi internal para pejabat bisa melibatkan staf humasnya. Tapi untuk kepentingan media? Tentu sulit. Ya sudah dinikmati saja. Namanya juga resiko. Resiko jadi wartawan. Itu saja, tabikpun. (*) 






Editor: Harian Momentum





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos