MOMENTUM, Jatiagung--Mangkaraknya proses pembangunan Kota Baru Bandarnegara Provinsi Lampung, memberikan berkah bagi sejumlah warga.
Mereka memanfaatkan lahan kosong di antara bangunan calon perkantoran kota baru yang berada di wilayah Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan itu, untuk bertani.
Salah satu warga yang memanfaatkan lahan kosong di kawasan kota baru tersebut untuk bertani, adalah Dadan.
Saat ditemui, warga Desa Margodadi, Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan itu, sedang memantau sejumlah rekan-rekanya yang mengolah lahan untuk ditanami singkong.
Dadan mengaku jarang turun langsung mengolah lahan di kawasan tersebut. Dia lebih berperan sebagai koordinator warga yang ingin mengais rezeki sebagai buruh tani di lahan kosong itu.
“Mereka (para petani) itu biasanya nanya, besok ada kerjaan gak bang? Sedih saya," kata pria becelana jeans lusuh dan koyak di beberapa bagian itu.
Ada 14 buruh tani yang dikoordinir Dadan. Mereka menggarap lahan lebih kurang satu hektar untuk ditanami singkong. Waktu kerjanya, mulai pukul 08.00 sampai 16.00 WIB. Masing-masing diupah Rp50 ribu hingga Rp75 ribu per hari.
Kepada Harianmomentum.com, Dadan bercerita, alasannya memanfaatkan lahan kosong di kota baru itu untuk bertani, bukanlah semata karena uang.
Dulu, dia pernah menjadi pahlawan devisa—bekerja di luar negeri sabagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Sebenarnya, kata dia, kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, penghasilanya sebagai TKI, sudah lebih dari cukup.
"Kalau saya mau mikirin diri sendiri, gak mesti manfaatkan lahan kosong ini untuk bertani, tapi saya ingin, membuka lapangan kerja buat orang lain," ungkapnya.
Karena itu, meski hasilannya tidak seberapa, Dadan tetap bertahan menggarap lahan kosong di kawasan kota baru.
Menurut dia, sejak pandemi corona virus desease (Covid-19) melanda, harga singkong menurun drastis. Dari Rp1.200 perkilogam menjadi Rp400 perkilogram. Akibatnya, dia harus pandai-pandai mengencangkan ikat pinggang.
“Seumpama saya menyerah, petani-petani di sini nasibnya gimana," katanya.
Damsit sesepuh petani penggarap lahan kota baru
Sejenak Dadan, menghentikan ceritanya, saat melihat mobil pick up mendekat dan berhenti di depan tempat kami berbincang. Seorang pria berusia sekitar 60 tahun, turun dari kursi kemudi mobil itu. Damsit nama pria itu. Dadan memperkenalkan Damsit sebagai orang tuanya.
“Kalau Pak Damsit itu sesepuh di sini. Orang-orang sini, pasti kenal sama beliau," kata Dadan.
Saat berkenalan, Damsit langsung nyeletuk. "Petani tuh takut hantu, lari ke kuburan," katanya sambil tertawa dengan nada sedikit tertahan.
Perkataan Damsit itu bermakna, tidak ada pilihan mudah bagi petani. Ibarat lari ketakutan karena bertemu hantu, justri malah masuk ke kuburun.
“Nanam singkong, harganya anjlok. (Kemudian) lari ke jagung. Terus jagungnya banyak hama," jelasnya.
Laki-laki dengan rambut, kumis dan janggut memutih itu mengaku sudah puluhan tahun menggarap lahan di kawasan tersebut. Jauh sebelum adanya proyek pembangunan kota baru.
Menurut dia, awalnya lahan tersebut merupakan bagian dari Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Register 40. Kemudian, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia mengadakan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) pada tahun 2006.
Selanjutnya, kemenhut membina masyarakat sekitar, untuk menanam pohon, seperti gaharu dan karet. Saat itu, Kemenhut menjanjikan, para petani boleh menggarap lahan di sana minimal selama 30 tahun.
Empat tahun kemudian—tahun 2010, dimulai proyek pembangunan kota baru untuk memindahkan pusat Pemerintah Provinsi Lampung dari Bandarlampung ke Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan.
Terjadi tukar guling lahan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Provinsi Lampung.
Berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor: S.361/Menhut-VII/2012, lahan seluas 1.580 hektar itu menjadi milik Pemprov Lampung. Kemudian, Kementerian Kehutanan mendapat lahan seluas 1.795 hektar di Kecamatan Pagardewa, Kabupaten Tulangbawang Barat.
Meski berganti kepemilikan, Pemprov Lampung tetap mengizinkan lahan tersebut untuk digarap warga, selama belum dibangun. Kemudian, para petani penggarap lama diberikan tali asih Rp5 juta perhektar oleh Pemprov Lampung.
“Dulu sih katanya mau ditarik biaya sewa Rp1 juta pertahun. Alhamdulillah gak pernah berjalan," kata Damsit.
Sejenak, Damsit berhenti bercerita. Disulutnya sebatang rokok sembari memandang ke arah para petani yang sedang bekerja. Raut wajahnya memancarkan kesedihan bercampur kebingungan.
Para penggarap memang akan mendapat informasi, jika sewaktu-waktu pembangunan kota baru akan dilanjutkan. Bisa saja, diberi tenggat waktu untuk panen sebelum mengosongkan lahan. Namun, tidak menutup kemungkinan langsung digusur.
“Namanya juga petani buruh. Lahan bukan punya sendiri. Jadi, kalau pemerintah mau gusur, kita bisa apa," ujarnya pasrah.
Selain status kepemilikan lahan, Damsit juga merasa khawatir saat musim kemarau. Kondisi tanah di lahan garapannya tidak gembur. Ditambah, tidak ada irigasi. Dia hanya mengandalkan curah hujan untuk pengairan lahan garapanya. Namun, dia enggan menyerah pada keadaan.
“Yah dibuat senang sajalah. Kalau senang, Insyaallah mudahlah kita menjalaninya," harapnya sembari tersenyum. (**)
Laporan: Ashri Fadilla
Editor: Munizar
Editor: Harian Momentum