MOMENTUM, Bandarlampung--Menjelang sore hingga malam hari suasana Taman Gajah di kawasan Enggal, Kota Bandarlampung memang selalu ramai. Terlebih pada malam minggu. Muda-mudi tampak bersantai. Berbincang di berbagai sudut taman, sambil menikmati berbagai kuliner dan minuman ringan. Riuh canda bocah-bacoh bermain di taman, semakin menyemarakkan suasana.
Para pedagang kaki lima tidak mau kehilangan momentum. Keramaian seperti itu, dimanfaatkan betul untuk mengais rezeki. Ada yang sibuk berkeliling menawarkan dagangan. Ada pula yang memilih menggelar lapak dan menanti pembeli.
Diantara deretan lapak pedagang, tampak asap tipis merambat naik dari balik gerobak pikul bertuliskan Kerak Telor. Bukan kebakaran. Muasalnya dari tungku dibalik gerobak tersebut. Sang pedagang tampak cekatan menyiapkan pesan kerak telor—kuliner khas Betawi, yang dipesan seorang pengunjung taman tersebut.
Wawan, begitu dia menyebut namanya saat Harianmomentum mengajaknya berbincang. Pria usia 45 tahun itu mengaku setiap hari membuka lapak dagangan di Taman Gajah mulai pukul 17.00 WIB.
Untuk satu porsi kerak telor, hanya dijualnya seharga Rp15 ribu. Bagi sebagain orang, nominal tersebut, mungkin tidak seberapa. Tapi bagi Wawan, dibutuhkan kenekatan luar biasa untuk mendapatkan uang segitu. Dia nekad memboying anak dan isterinya menyeberang lautan. Dari Jakarta ke Bandarlampung.
Sebelum datang ke Bandarlampung, Wawan biasa berjualan kerak telor kawasan Taman Margasatwa, Ragunan, Jakarta. Meski tidak sampai bergelimang harta, dia merasa cukup untuk menghidupi keluarganya dari hasil berdagang kerak telor.
Namun, apalah daya. Begitu pandemi corona virus desease (Covid-19) melanda, omset penjualannya langsung menurun drastis.
Aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencegah penularan covid-19, berdampak pada penurunan jumlah pengujung Taman Margasatwa, Ragunan. Akibatnya pembeli kerak telornya pun semakin sepi.
“Saat itu saya bingung, bagaiman cari uang untuk menafkahi keluarga. Jualan sepi banget, hampir tak ada yang beli,” tuturnya dengan logat betawi.
Beruntung, di tengah kebingungan itu, Wawan menemukan jalan keluar. Mengetahui ada saudaranya yang memiliki rumah kontrakan di Bandarlampun, tak banyak pertimbangan Wawan nekad memboyong anak istrinya ke kota berjuluk Tapis Berseri itu.
Kini, sudah hampir tiga bulan, dia merantau di Bandarlampung. Berjualan kerak telor di Taman Gajah untuk menafkahi keluarga.
“Jualan kerak telor itu tradisi. Di Ragunan, semua yang jual kerak telor, tuh sodara saya,” ungkapny sambil mengipas bara arang ditungku pembuatan kerak telor.
Disampingnya, tampak seorang wanita sedang membalik takoyaki (makanan khas Jepang) yang masih setengah matang. “Itu isteri saya. Namanya Rara. Dia spesialis takoyaki,” ujarnya sembail tersenyum.
Rara (43) mengatakan, tidak mudah untuk hidup di perantauan. Apalagi membawa anak-anak mereka yang masih bersekolah. “Tapi untung sekolahnya online,” kata Rara.
Meski omset pejualan kerak telor dan takoyaki, sering kali tak mencapai target, keduanya tak pernah putus asa.
“Mau gimana lagi. Alhamdulilah saja, yang penting masih bisa makan dan bayar kontrakan. Kata orang tua saya, hidup itu harus terus berjuang, nggak boleh neyerah sama keadaan,” ungkapnya.
Wawan dan Rara hanya berharap, pandemi covid-19 segera berakhir dan keadaan bisa kembali normal. (**)
Laporan: Ashri Fadilla
Editor: Munizar
Editor: Harian Momentum