MOMENTUM,
Bandarlampung--Sudah jatuh, hampir tertimpa tangga pula. Begitulah situasi yang
kini dihadapi oknum Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung
berinisial TA.
Nama TA sempat disebut oleh Jaksa
Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) Taufiq Ibnugroho pada Sidang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam perkara suap fee
proyek mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa, belum lama ini.
Ketua
Divisi Hukum KPU Lampung itu disinyalir turut menerima uang Rp1 miliar yang
diduga berasal dari hasil korupsi. Peristiwa terjadi menjelang pemilihan kepala
daerah (Pilkada) tahun 2018.
Terlepas
benar atau tidaknya sangkaan tersebut, tapi pastinya kabar itu telah mencorong nama baik TA, termasuk instansi KPU, tempatnya
bernaung.
Namun masalah tak berhenti di
situ. Sebab ada beberapa organisasi yang mengaku geram, ketika mendengar kabar
dugaan keterlibatan oknum komisioner KPU dalam pusaran suap.
Bahkan mereka berencana
melaporkan masalah tersebut pada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Salah satu yang geram dan
mengaku siap melaporkan TA ke DKPP adalah Ketua Gerakan Lampug Bersatu, Fariza
Novita.
Melalui pelaporan ke DKPP, Ica —sapaan Fariza
Novita— berharap, bisa memberi efek jera pada para oknum penyelenggara yang
nakal, alias tidak taat terhadap kode etiknya sebagai penyelenggara pemilu.
“Biar
terbuka semua, jangan sampai kedepannya terjadi lagi, ada penyelenggara yang diduga
dengan sengaja menceburkan diri dalam kasus suap,” kata Ica pada
harianmomentum.com, Senin (26-4-2021).
Ica
meyakini, DKPP sebagai lembaga yang berwenang menangani pelanggaran etik
penyelenggara pemilu dapat mengusut tuntas perkara tersebut.
“Kebenaran
sudah kepalang terbuka, harus diusut semua yang terlibat dalam permasalahan ini,”
tegasnya.
Menurut
Ica, apapun keputusan DKPP nantinya, itu adalah yang terbaik. “Kita membantu aparat
penegak hukum memberantas korupsi. Terlepas benar atua tidaknya, terlibat atau
tidaknya, ya kita serahkan ke penegak hukum,” ungkapnya.
Namun,
sambung Ica, tindakan atau perbuatan seorang penyelenggara pemilu yang menerima
suap, dari kontestan pemilu atau turunannya, merupakan pelanggaran kode etik
yang nyata.
“Menerima
suap dalam bentuk apapun, baik uang ataupun barang, merupakan pelanggaran kode
etik penyelenggara. Jika benar terjadi, sanksi terbaik adalah dipecat,”
tegasnya.
Larangan
menerima suap tersebut tertuang dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP Nomor
13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012, tentang Kode Etik
Penyelenggara Pemilihan Umum, tepatnya pada Pasal 9 huruf g.
Pasal
9 huruf g berisi: penyelenggara pemilu berkewajiban menolak untuk menerima
uang, barang, dan atau jasa, atau pemberian lainnya yang apabila dikonversi melebihi
standar biaya umum dalam jangka waktu
paling lama tiga jam, dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun tidak
langsung, dari calon peserta Pemilu, peserta Pemilu, calon anggota DPR dan
DPRD, dan tim kampanye.
Terpisah, Anggota KPU Lampung TA menolak untuk
berkomentar saat dikonfirmasi perihal namanya yang disebut-sebut oleh jaksa KPK
menerima suap Rp1 miliar.
TA juga belum bersedia untuk memberi
komentarnya, terkait akan dibawanya persoalan tersebut ke ranah DKPP.
Sebelumnya, Saifuddin, sopir Anggota DPRD
Provinsi Lampung Midi Iswanto mengaku sempat menghantarkan Rp1 Miliar (atas
perintah Midi) untuk Komisioner KPU Lampung TA.
Pernyataan itu terungkap saat Saifuddin menjadi
saksi sidang suap dan gratifikasi Mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa di
Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (22-4).
Jaksa Penuntut Umum KPK Taufiq Ibnugroho
mengatakan bahwa pernyataan Saifuddin itu tercatat dalam Berita Acara Perkara
(BAP).
"Uang yang Rp1 Miliar diserahkan ke pak TA
ini, tapi uangnya diserahkan melalui Pak TG," kata Taufiq saat
diwawancarai awak media usai sidang.(**)
Laporan: Ira Widya
Editor: Agung Chandra Widi
Editor: Harian Momentum