MOMENTUM-- Menulis itu layaknya naik sepeda. Tidak perlu bakat khusus. Cukup konsisten berlatih. Tak peduli hasilnya bagus atau tidak.

Sebab, kita tidak pernah tahu, pada bagian tulisan mana pembaca bisa terinspirasi. 

Pesan itu disampaikan Hasanuddin Z Arifin. Wartawan senior sekaligus salah satu guru saya di dunia jurnalistik. 

Ketika menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Surat Kabar Bandarlampung News dulu, beliau selalu memberi arahan setiap mengedit berita saya.

Jika ada penyusunan kata dan kalimat yang tidak sesuai, langsung dijelaskan saat itu juga. Agar kita paham dimana letak kesalahan. Termasuk kiat sukses menulis kolom.

Tak jarang, beberapa tulisan Pak Hasan—begitu saya memanggilnya, di rubrik ”Tabik” dulu selalu menginspirasi. Gaya bahasanya selalu santun, lugas, tapi tetap mengena.

Kalau pun terpaksa mengkritik, sebisa mungkin dia menggunakan diksi yang paling lembut. Salah satu judul tulisan kolomnya yang masih melekat dalam ingatan saya adalah ’’Filosofi Bersepeda.’’

Tulisan yang bercerita tentang filsafat kehidupan itu diterbitkan di halaman pertama koran Bandarlampung News, belasan tahun silam.

Suatu malam, Pak Hasan memanggil saya untuk duduk di samping meja kerjanya. Sembari menghisap Marlboro merah yang terselip di jari tangan, dia menjelaskan: profesi wartawan melekat pada tubuh dan pikiran. Bukan sekedar label. 

Sehingga kita (wartawan, pen) berkewajiban menyampaikan fakta dengan susunan bahasa yang diolah sedemikian rupa. Usahakan setiap paragraf sedapat mungkin merepresentasikan peristiwa dan data, bukan imajinasi.

Boleh mencela (mengkritik), juga tidak haram untuk memuja. Kuncinya, tetap mengedepankan fakta. Jangan mengada- ngada. 

Jika terjadi silang pendapat di publik, ikuti saja nuranimu. Karena dia (hati, pen) tidak akan pernah berbohong. 

Terima kasih guru. Pesanmu akan selalu kuingat hingga akhir hayat. Semoga sehat selalu. Tabik Pun. (**)