Menghamba kepada Publik

img
Andi Panjaitan, Pemred Harian Momentum.

MOMENTUM-- Mengapa Harian Momentum tidak mengikuti media sebelah, menawarkan langganan berita digital berbayar? Celoteh sahabat, saat bertemu di warung kopi.

Dalam perbincangan tak disengaja itu, dia banyak mengemukakan gagasan menarik. Termasuk, usulan program ’’open donasi’’ kepada pembaca. 

Dia juga menyarankan Momentum meniru ide Taz—koran kiri di negara Jerman. Di sana, perusahaan media tersebut mengizinkan pembacanya memiliki saham.

Selain mendapatkan dividen, para pemegang saham juga bisa memilih anggota redaksi bahkan mengajukan usul berita macam apa yang ingin mereka baca. Sehingga perusahaan media bisa bertahan di era disrupsi saat ini.

Mendengar ide dari seorang Sarjana Manajemen Bisnis itu, saya diam sejenak. Kemudian menanggapi poin pertama: soal berita berbayar.

Saya jelaskan, perusahaan media memang mencari keuntungan layaknya industri di bidang lain. Tapi ada perbedaan yang sangat mendasar.

Perusahaan media memiliki tanggungjawab besar kepada publik. Termasuk memberi informasi yang bermanfaat, terverifikasi dan teruji. Karena akan menjadi pertaruhan bagi pembaca. Termasuk untuk media itu sendiri.

Terlebih, saat ini banyak sekali berita bohong (hoax) yang dapat diakses secara gratis di internet. Apa jadinya jika berita bagus dibatasi dengan bayaran? Bukankah distribusi berita menjadi tidak adil. 

Karena dengan sistem berita berbayar, hanya segelintir orang yang mampu mengakses informasi benar yang disajikan melalui media tersebut.

Akibatnya, demokrasi di negeri ini akan terancam karena penyebaran berita tidak merata. Padahal, media telah dinobatkan sebagai salah satu pilar demokrasi—selain legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Tetapi, saya sangat tertarik dengan poin kedua dari sahabat itu. Melibatkan publik sebagai pemegang saham. Sehingga independensinya tetap terjaga. Tidak terkekang dengan pemilik media.   

Yang jelas, seperti apapun cara pengelolaannya, media memiliki tanggungjawab besar kepada publik. Tidak boleh menutupi informasi sekecil apa pun kepada khalayak ramai.

Sebab, kami sangat bergantung kepada publik. Media tanpa pembaca ibarat taman tanpa bunga. Terasa hampa. Seperti menyeruput kopi tanpa menghisap rokok. 

“Seperti obrolan kita sore ini, tidak indah lagi karena rokok sudah habis,” pungkasku. Kami pun beranjak dari tempat itu.

Tabik Pun. (**)






Editor: Harian Momentum





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos