Ayahku Nelayanku

img
Andi S Panjaitan, Pemred Harian Momentum.

MOMENTUM-- Sebagian besar warga masih terlelap di pembaringan karena masih gelap. Sang mentari masih enggan memancarkan sinarnya. 

Subuh itu, desiran angin terasa menusuk ke pori-pori. Ingin rasanya kembali masuk ke rumah, karena tak kuat melawan rasa dingin.

Di tepi jalan sunyi, pria dewasa itu sedang menunggu bus untuk berangkat ke Pelabuhan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut). 

Jarak tempuh sekitar 250 Kilometer (km) dari kampung kami--di Kelurahan Guntingsaga, Kecamatan Kualuh Selatan, Kabupaten Labuhanbatu Utara.

Tepat di sisi kirinya, seorang wanita berwajah sejuk terlihat setia menemani. Dalam dekapannya ada seorang anak laki-laki berusia enam tahun.

Ya, bocah itu adalah aku. Andi Syahputra Panjaitan bin Lahmuddin Panjaitan. Putra pertama dan terakhir dari seorang lelaki tangguh yang berprofesi sebagai nelayan.

Tiga puluh tahun lalu, sudah menjadi rutinitasku mengantar kepergian ayah ketika dia akan pergi melaut. Setidaknya menemaninya sampai di depan rumah, hingga menaiki bus.  

Demi menafkahi keluarga, dia rela bertaruh nyawa. Berjuang melawan hantaman ombak dan dahsyatnya terjangan badai di lautan.

Kulit yang membungkus tubuhnya terlihat kecokelatan, akibat sengatan sinar matahari di tengah laut. Tak lagi sebagus dulu (waktu masih remaja). Terutama di bagian telapak tangan. Sudah kapalan. Jika bersalaman, kulit tangannya terasa tebal karena selalu terkena air laut.

Dia selalu pergi melaut untuk menafkahi keluarga. Jika sudah berangkat, bisa 40 hari lamanya baru kembali ke daratan.

Terkadang, saat hujan turun di rumah. Aku berpikir bagaimana keadaan ayah di tengah luasnya lautan di sana? Apakah dia baik- baik saja?

Tidak ada telepon genggam saat itu. sehingga sulit untuk berkomunikasi. Kalau pun ingin berkirim surat, aku bingung mau mengirimkannya kemana. 

Karena kami tidak tau pasti dengan siapa dia bekerja. Siapa saja temannya sekapal dan kemana saja mereka berlayar mencari ikan. 

Kami di rumah hanya bisa pasrah. Semoga Allah Swt selalu menjaga ayah yang sedang berjuang mencari nafkah untuk keluarganya.

Alhamdulillah. Di tengah kegelisahan yang menghantui, Ayah selalu pulang dengan selamat. Tepat waktu. Sesuai jadwal kepulangan yang telah dia sebutkan sebelum berangkat.

Kepulangannya selalu kami sambut gembira. Bisa berkumpul kembali bersama keluarganya. Tak lupa, dia selalu membawa udang, kepiting, ikan dan beragam hasil tangkapan laut lainnya. Termasuk terasi (balacan) hasil olahannya sendiri.

Mungkin, karena seringnya mengonsumsi protein laut itu, dimasa kecil. Membuat otakku bisa berkembang dengan baik. Walau tidak terlalu cerdas, setidaknya nggak bodoh-bodoh amat.

Setelah aku selesai menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta di Kota Bandarlampung, barulah ayah kemudian memutuskan untuk berhenti melaut.

Dia fokus mengurus sebidang kebun karet yang kini sudah berganti menjadi sawit. Setidaknya cukup untuk biaya hidup ayah dan emak di kampung. 

Hari ini, tepatnya 6 April 2022 merupakan Hari Nelayan Nasional. Pemerintah telah menetapkannya sejak tahun 1960 lalu. Di masa pemerintahan Orde Lama. 

Hari Nelayan Nasional diperingati sebagai bentuk apresiasi jasa para nelayan Indonesia dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein dan gizi.

Sayang, penetapan hari bersejarah bagi kalangan nelayan itu tidak dibarengi dengan kegiatan seremonial oleh pemerintah. Layaknya profesi lain yang selalu diistimewakan pemerintah.

Alih-alih menyejahterakan mereka, hingga saat ini pemerintah saja tidak punya data jumlah nelayan di Indonesia. Kalau pun ada, data itu hanya tersaji sampai tahun 2019. (silahkan cari di google).

Selamat Hari Nelayan Nasional wahai ayahku. Berkat perjuangan kalian (para nelayan), jutaan anak di negeri ini bisa menikmati kelezatan protein dan gizi dari laut.

Kalian adalah pahlawan protein. Meski terkadang jasa kalian tidak begitu dihargai, setidaknya masih ada aku. Anakmu yang selalu bangga terhadap jasamu.

Vincent Van Gogh pernah berkata: Para nelayan tahu bahwa laut itu berbahaya dan badai itu mengerikan, tetapi mereka tidak pernah menemukan alasan yang cukup bahaya untuk berdiam diri di darat. 

Teruslah berlayar para nelayan. Jasa kalian akan selalu abadi di hati. Tabik. (**)






Editor: Agus Setyawan





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos