Salam Hormat untuk Petani Singkong

img
Muhammad Furqon - Dewan Redaksi Harian Momentum. Foto. Ist.

MOMENTUM -- Baru saja terdengar kabar “gembira” dari Lampung Timur: Harga singkong Rp480/kg. Ada kenaikan sedikit dibandingkan dengan beberapa pekan sebelumnya, Rp450/kg. Jangan ditanya apakah petani untung atau buntung. Cukup  bandingkan dengan harga patokan pemerintah (HPP) Rp1.350/kg. Tertawa pun terasa hambar, sebab menangis sudah terlalu basi.

Petani singkong menunggu delapan bulan hingga setahun untuk panen. Dengan produktivitas rata-tara 27 ton per hektare, hitung-hitungan kasarnya, pendapatan kotor petani hanya belasan juta rupiah. Padahal biaya tenaga kerja dan transportasi tak pernah memberi diskon. 

Sejujurnya, kabar harga singkong itu, sama sekali tak mengejutkan. Sepanjang yang bisa diingat, sejarah singkong di negeri para petani ini, memang ditulis dengan tinta penderitaan. 

Saat harga naik, bukan petani yang bersyukur, melainkan pengusaha, pemodal, hingga pejabat yang tersenyum lebar. Petani? Tetap saja mengais sisa. Kalau kata orang bijak, “Di negeri subur ini, yang kaya bukanlah penanam, tapi yang pandai menghitung laba di meja rapat.”

Baca Juga: Terima Kasih Saras

Singkong jadi pilihan terpaksa bagi petani. Gampang ditanam, modal kecil, bahkan tanpa pupuk pun tumbuh. Meski demikian, karena desakan kebutuhan perut keluarga, banyak juga petani yang memilih menyewakan lahannya ketimbang menanam sendiri. 

Di situlah pengusaha masuk, mengelola dengan skala besar, dan menangguk untung. Bahkan, singkong yang ditanaman dengan benar, cukup pupuknya, bisa menghasilkan sampai 50-an ton per hektare.  Terbayang, berapa hasil yang diraup para petani dadakan. Lagi-lagi, hukum alam versi kapitalisme: yang lemah tersingkir, yang kuat berkuasa.

Pemerintah? Solusinya klise dan abadi: hentikan atau kurangi impor singkong dan produk turunannya, tetapkan patokan harga. Jurus klasik yang tak pernah menyejahterakan petani. Karena, mari jujur saja, mana ada pabrik tapioka rela membeli singkong mahal kalau tepung impor jauh lebih murah? Solusi itu ibarat menabur garam di laut: usaha sia-sia.

Padahal, kalau pupuk tersedia, ada irigasi atau  pengairan, ada modal bikin sawah, siapa yang sudi menanam singkong? Nyatanya, kemiskinan modal membuat petani tak punya pilihan lain. Mereka terjebak dalam lingkaran pahit sepanjang hidup.

Mimpi punya sawah subur, harga adil, dan hidup layak hanyalah mimpi panjang yang tak pernah digubris penguasa. Maka, salam hormat untuk para petani singkong: Pejuang yang menanam dengan keringat, memanen dengan air mata, dan menerima harga yang hanya pantas untuk bahan tertawaan.

Tabik...!

Oleh Muhammad Furqon - Dewan Redaksi Harian Momentum






Editor: Muhammad Furqon





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos