Integritas Kesehatan, Integritas Kemanusiaan

img
Saring Suhendro - Akademisi Unila & Pengurus ISEI Lampung

MOMENTUM -- Setiap orang yang masuk ke rumah sakit selalu membawa rasa waswas dan harapan sekaligus. Ada yang menggenggam tangan anaknya sambil menahan cemas, ada yang menunggu kabar operasi keluarga, ada juga yang hanya bisa berdoa agar dokter memberi kabar baik. Rumah sakit pada akhirnya bukan sekadar tembok dan peralatan medis, tapi ruang di mana kepercayaan publik benar-benar dipertaruhkan.

Namun, apakah kepercayaan itu selalu terjaga? Bukankah sering kita dengar keluhan soal pungutan liar, kurangnya keterbukaan informasi biaya, atau pelayanan yang dianggap kurang adil?

Inilah mengapa tata kelola rumah sakit yang baik menjadi isu utama yang perlu dibicarakan. Integritas hanyalah salah satu pintunya, sedangkan pondasi besarnya adalah good governance yang harus melekat di setiap sendi pelayanan kesehatan.

Komitmen Tak Cukup, Bukti yang Ditunggu 

Hari Senin, 23 September 2025, RSUD Dr. H. Abdul Moeloek menegaskan komitmen membangun Zona Integritas. Acara penandatanganan bersama yang melibatkan Ombudsman, DPRD, Inspektorat, Dinas Kesehatan, Biro Organisasi, dan para direktur rumah sakit. Momen ini tentu penting sebagai simbol, tetapi yang jauh lebih esensial adalah bagaimana komitmen tersebut diterjemahkan dalam praktik sehari-hari.

Zona integritas memang langkah penting. Tapi masyarakat tentu berharap lebih dari sekadar seremoni, sedangkan esensi utamanya ada pada penguatan sistem tata kelola rumah sakit yang benar-benar mencerminkan prinsip good governance.

Good Governance, Pondasi yang Tak Boleh Retak 

Dalam tata kelola publik, rumah sakit bisa disebut sehat apabila dikelola dengan prinsip good governance. Transparansi memberi kepastian informasi bagi pasien. Akuntabilitas memastikan setiap tindakan bisa dipertanggungjawabkan. 

Responsibilitas menuntut kepatuhan pada aturan hukum dan standar profesi. Keadilan menjamin setiap orang mendapat hak yang sama atas layanan. Partisipasi membuka ruang suara masyarakat untuk menilai dan mengawasi mutu pelayanan.

Kelima prinsip itu bukan teori kosong. Ia menjadi kompas yang menuntun perubahan nyata. Ditambah dengan sistem pengendalian internal pemerintah (SPIP) sebagaimana diatur dalam PP No. 60 Tahun 2008, tata kelola rumah sakit seharusnya lebih siap mencegah penyalahgunaan kewenangan. Kepercayaan publik akan tumbuh bila tata kelola dijalankan konsisten. Sekali runtuh, butuh energi berlipat untuk memperbaikinya.

Keberhasilan yang Terlihat dari Hal-Hal Sederhana

Apresiasi patut diberikan kepada deklarasi integritas. Tapi, keberhasilan itu bukan cuma soal seremoni. Pengalaman pasien sehari-hari sering lebih jujur daripada laporan resmi. Coba kita lihat hal-hal sederhana. Apakah mereka merasa dokter dan perawat mau mendengar dan menjelaskan dengan baik atau justru dibiarkan bingung? Hal-hal kecil seperti kelengkapan fasilitas rawat pun sering jadi ukuran sederhana bagi pasien. 

Bagaimana soal biaya, sudah jelas dan sesuai aturan atau masih ada celah yang menimbulkan pertanyaan? Antrean dan pendaftaran, mestinya makin ringkas dan tidak bikin orang menunggu berjam-jam. Dan yang paling krusial, di IGD jangan sampai ada pasien darurat yang merasa ditunda atau diabaikan. Hal-hal sederhana inilah yang sebenarnya jadi ukuran apakah tata kelola rumah sakit berjalan dengan baik atau hanya sekadar slogan.

Selain pengalaman pasien, keberhasilan juga bisa dilihat dari kepuasan tenaga kesehatan, efisiensi penggunaan anggaran, kepatuhan terhadap standar mutu akreditasi, dan kemampuan rumah sakit berinovasi lewat teknologi. Semua aspek itu saling terkait dan menunjukkan apakah tata kelola benar-benar berjalan sehat atau belum.

Antrean digital memang sudah ada, tapi keluhan masih terdengar. Artinya inovasi belum cukup bila tidak dijalankan konsisten dan didukung kedisiplinan semua pihak. 

Tantangannya bukan lagi soal ada atau tidaknya inovasi, melainkan bagaimana dijalankan konsisten dan diawasi dengan serius. Tanpa pengawasan internal dan eksternal dari inspektorat maupun DPRD, semua terobosan itu mudah berubah jadi formalitas belaka.

Semua itu adalah indikator nyata dari keberhasilan tata kelola yang baik. Masyarakat akan merasakan langsung perbedaan antara rumah sakit yang dikelola dengan prinsip good governance dan rumah sakit yang hanya sibuk dengan slogan.

Kalau rumah sakit gagal memberi rasa adil dan transparan yang terguncang bukan hanya reputasinya. Lebih jauh, legitimasi pemerintah daerah ikut dipertaruhkan. Karena itu, membangun tata kelola bukan sekadar soal manajemen, tapi soal menjaga martabat kemanusiaan dan menyiapkan investasi jangka panjang menuju Lampung Sehat 2045. Sebuah visi di mana warga merasa yakin, dihargai dan diperlakukan dengan hormat saat mencari layanan kesehatan.

Rumah Harapan, Bukan Rumah Kecemasan

Integritas dalam layanan kesehatan pada akhirnya adalah integritas kemanusiaan. Transparansi dan akuntabilitas bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi janji moral pemerintah kepada rakyat.

Deklarasi hanyalah awal. Tantangan sebenarnya ada di ruang-ruang rawat, meja administrasi, sistem farmasi, hingga kebijakan manajemen. Dengan tata kelola rumah sakit yang berlandaskan prinsip good governance, pelayanan kesehatan di Lampung bisa semakin dipercaya dan diandalkan.

Hanya dengan tata kelola yang baik, rumah sakit benar-benar bisa menjadi rumah harapan, bukan rumah kecemasan. Kita semua tentu ingin rumah sakit pemerintah menjadi tempat yang menenangkan, bukan menambah kecemasan. (**)

Oleh Saring Suhendro -  Akademisi Unila & Pengurus ISEI Lampung






Editor: Muhammad Furqon





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos