MOMENTUM-- Undang- undang Omnibus Law Cipta Kerja sudah disahkan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di parlemen menandainya dengan ketok palu.
Tapi, meski sudah sepekan berlalu, aksi penolakan tetap lantang terdengar dari penjuru negeri.
Pemerintah dan DPR beralibi jika UU itu akan meningkatkan investasi. Memutus jalur birokrasi perizinan yang berbeit- belit. Menyejahterakan rakyat dan lain sebagainya.
Disisi lain rakyat justru menjerit. Pendemo yang didominasi kaum buruh dan mahasiswa menganggap UU itu merampas hak pekerja.
Selain itu juga dianggap berpotensi merusak lingkungan. Otorisasi dalam dunia pendidikan, perampasan lahan dan lain sebagainya.
Jika pemerintah merasa benar, rakyat juga demikian. Lantas, siapa yang harus disalahkan?
Pepatah menyebut; Ada asap ada api. Artinya, setiap kejadian pasti ada penyebabnya.
Dalam konteks UU Cipta Kerja, tidak mungkin jutaan rakyat di negeri ini berontak, jika regulasinya berpihak terhadap mereka.
Saya yakin. Jika ditanya dari hati ke hati. Satu- persatu dari 575 anggota DPR RI. Maka lebih setengah dari jumlah mereka pasti akan menolak RUU tersebut.
Tapi apa daya. Sejak mereka terpilih dan dilantik menjadi dewan yang terhormat, sejak itu pula mereka berhenti menjadi wakil rakyat. Karena telah berubah menjadi wakil partai.
Posisi mereka saat ini tak ubahnya sebagai wayang politik yang dikendalikan dalang. Apapun sikapnya harus melalui persetujuan penguasa partai politik (Parpol).
Jika berontak, harus bersiap dipecat. Akan ada kader partai yang menggantikan posisinya. Karena mereka telah dikendalikan partai. Bukan lagi konstituen.
Fenomena ini telah terjadi sejak lama. Tidak hanya menyasar DPR. Tetapi juga gubernur, walikota/ bupati. Bahkan presiden sekalipun.
Kekuatan parpol sudah mendominasi hampir semua lini kekuasaan.
Maka tak heran, jika Megawati Soekarno Putri pernah berkata; Joko Widodo (Jokowi) adalah petugas partai.
Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan itu sebagai bukti, bahwa kekuatan parpol amat dahsyat. Bisa mengendalikan arah kebijakan apa pun dari siapa aja. Termasuk seorang presiden.
Parpol seolah menjadi ’’tangan besi’’ terhadap pemangku kebijakan.
Sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat dalam pengesahan UU Cipta Kerja juga demikian.
Jika kemudian dua fraksi itu menolak, bukan berarti karena inisiatif para anggotanya. Melainkan perintah partai.
Secara kebetulan mereka sedang berpihak terhadap rakyat. Bisa jadi, dalam pembahasan RUU berikutnya justru mereka yang dianggap mengkhianati rakyat.
Atas dasar itu, tidak berlebihan kiranya jika dibuatkan regulasi khusus yang mengatur tentang independensi seorang wakil rakyat.
Agar suara mereka tak lagi terbelenggu. Agar teriakan para wakil rakyat kembali lantang menyuarakan aspirasi konstituennya.
Agar tak ada lagi kekisruhan di negeri ini akibat otoriter parpol dalam belenggu kekuasaan. Tabikpun. (**)
Editor: Harian Momentum