APBD Kota Harus Dievaluasi!

img
Ilustrasi.//ist

MOMENTUM, Bandarlampung--Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung harus mengevaluasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Bandarlampung.

Sebab, hutang belanja Rp736 miliar yang kini dihadapi pemkot terlalu membebani masyarakat, dan sangat berdampak terhadap pembangunan daerah.

Desakan itu ditegaskan Ketua LSM Informasi Sosial (Infosos) Lampung, Ichwan, kepada harianmomentum.com, Rabu (2-6-2021).

Menurut dia, Pemprov Lampung berwenang mengevaluasi setiap rancangan APBD kabupaten/ kota, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 11 tahun 2017.

“Dalam pasal 4 ayat 2 di Permendagri itu jelas disebutkan, jika Gubernur berhak mengevaluasi RAPBD kabupaten/ kota,” jelas Ichwan.  

Terlebih, komposisi APBD Pemkot Bandarlampung tahun 2020 sangat jomplang. Beban belanja jauh lebih besar dibanding realisasi pendapatan. Kondisi itu terus berulang selama tiga tahun terakhir.

“Kalau Walikota Eva Dwiana dan pendahulunya Herman HN selalu beralasan hutang tersebut disebabkan adanya pandemi Covid-19, itu bohong besar. Ingat! posisi hutang belanja pemkot sudah terjadi sejak tahun 2018,” katanya.

Sehingga, sudah saatnya pemkot bersama DPRD setempat memangkas pos belanja pada rancangan APBD perubahan 2021 nanti.

“Kondisi defisit ini sangat tidak wajar. Harus segera dicarikan solusinya. Ibarat suatu penyakit, jika tidak segera diobati maka si penderitanya bisa mati,” pungkas Ichwan.

Sementara Pemprov Lampung mengaku telah berupaya mengevaluasi APBD Pemkot Bandarlampung tahun anggaran 2020.

Apalagi, BPK melalui hasil auditnya menyebut pemkot mengalami defisit sebesar Rp725 miliar.

"Provinsi memang punya peran mengevaluasi APBD. Tetap kita pantau, tapi hanya dari sisi dokumen administratifnya saja," kata Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Lampung Marindo Kurniawan kepada harianmomentum.com, Rabu (2-6-2021).

Marindo menyebutkan, Pemprov tidak bisa terlalu mengintervensi Pemkot Bandarlampung terkait dengan penyusunan APBD.

Sesuai dengan regulasi yang ada, proses penyusunan anggaran belanja dan pendapatan dilaksanakan oleh daerah masing-masing.

"Kita tidak bisa melihat mereka belanja apa, pendapatannya berapa. Karena ini kan otonomi daerah, kita tidak bisa terlalu intervensi," jelasnya.

Dia menjelaskan, untuk audit merupakan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Lampung.

"Tapi kan hasil audit BPK, provinsi tidak disalahkan. Karena provinsi memang tidak punya tugas melihat langsung," sebutnya.

Dikonfirmasi terkait hal itu, Ketua DPRD Bandarlampung Wiyadi mengaku akan mengecek terlebih dahulu pemberitaan soal hutang belanja tersebut.

"Oh aku nanti cek dulu ya, aku belum tau tentang itu (hutang belanja pemkot) secara faktual," ujar Wiyadi, Rabu (2-6-2021).

Wiyadi mengklaim, belum bisa berkomentar banyak sebelum mengetahui secara fakta rincian hutang itu. "Tentang apa aja belum tau, nanti saya kroscek dulu," klaimnya.

Sementara, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bandarlampung Wilson Faisol belum dapat dikonfirmasi. 

Saat disambangi ke kantornya, Rabu (2-6-2021), Wilson tidak berada di ruangan. Begitu juga saat dihubungi melalui sambungan telepon ke nomor 0812-7222-XXXX tidak merespon. 

Kherlani, Wakil Walikota Bandarlampung periode 2005-2010, sebelumnya menyatakan besarnya hutang belanja pemkotpatut dicermati semua pihak.

Terutama, para pemangku kebijakan yang turut andil dalam proses skandal anggaran tersebut. Hingga akhirnya, pemkot tercatat berhutang Rp736 miliar.

Menurut dia, ada dugaan unsur permainan anggaran oleh pemangku kebijakan untuk mengambil keuntungan politik dari APBD.

Misalnya, target pendapatan sengaja ditetapkan tinggi agar belanja juga bisa dinaikkan. Dengan begitu, keuntungan dari belanja fisik semakin banyak.

“Padahal, kita semua tau bahwa beberapa tahun terakhir, target pendapatan dalam APBD Bandarlampung tidak pernah terealisasi. Anehnya, targetnya terus saja dinaikkan,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, Pemkot Bandarlampung masih menanggung beban hutang sebesar Rp736.933.003.443, warisan dari rezim sebelumnya.

Hutang terbanyak di Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp445 miliar dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Rp124 miliar. Selebihnya tersebar pada beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya.

Hutang itu terdiri dari belanja pengadaan barang dan jasa (pihak ketiga), hutang belanja modal dan belanja pegawai.

Hal itu tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI nomor: 32B/LHP/XVIII.BLP/05/2021, tertanggal 5 Mei 2021.

Dalam laporan atas pemeriksaan keuangan pemkot tahun anggaran 2020 itu disebutkan, jumlah hutang di tahun 2020 meningkat sebesar Rp324.603.124.737. Atau sekitar 78,72 persen dibanding hutang tahun 2019 yang berjumlah Rp412.329.676.705. 

Melonjaknya hutang itu disebabkan tidak tercapainya potensi pendapatan yang ditetapkan oleh pemkot sebelumnya. Mirisnya, kegiatan belanja tetap saja dilaksanakan tiap OPD. (tim)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos