MOMENTUM, Bengkunat--Melanjutkan cerita Wayharu kemarin. Secara pribadi, saya tidak sepenuhnya menyalahkan Pemkab Pesisir Barat. Walau pun, mungkin ada juga khilafnya. Hehehe..
Menurut saya, Pemkab Pesisir Barat sudah berusaha keras mengatasai keterisoliran masyarakat di kawasan Wayharu.
Anggaran Rp1,9 miliar digelontorkan untuk membuka badan jalan menuju Wayharu. Hasilnya terbuka jalan sepanjang lebih kurang 4,3 kilometer. Ironisnya, upaya pemkab itu terbentur dinding tebal berbingkai aturan perizinan dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Baca juga: Wayharu, Kapan Merdeka (Bagian II)
Singkatnya penjelasan aturan kementerian tersebut begini. Kawasan Wayharu disebut masuk dalam wilayah pemukiman enclave atau kantong yang harus diawasi dengan ketat, agar fungsi kawasan Taman Nasional Bukti Barisan Selatan (TNBBS) tetap terjaga sebagaimana mestinya.
Akibatnya, usulan perizian dari Pemkab Pesisir Barat untuk membangun jalan menuju kawasan Wayharu, mentok.
Anehnya, pemerintah pusat justru memberikan izin kepada PT Adhiniaga Kreasinusa (anak perusahaan Artha Graha Group) untuk menjalankan bisnis resort mewah berbalut konsep konservasi. Namanya Tambling Wildlife Nature Conservation yang lokasinya berdampingan dengan kawasan Wayharu.
Ya, begitulah kondisi Wayharu yang masih saja terus terisolir, dipenjara jeruji aturan. Padahal, moyang warga Wayharu sudah menempati kawasan tersebut sebelum adanya berbagai aturan ngejelimet itu. Malahan sebelum negara ini terbentuk.
Lalu, kapan dan bagaimana ceritanya, nenek moyang warga Wayaharu bisa menempati kawasan tersebut? Sayangnya saya sudah ngantuk. Jadi kita lanjutin besok lagi ya. Hehehe..
Editor: Munizar