MOMENTUM, Bandarlampung--Anggota DPRD Provinsi Lampung, Munir Abdul Haris, mendorong Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah segera mengusulkan eks Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Satuan Pemukiman (SP) 1 dan SP2 Wayterusan sebagai desa definitif.
Ketiga wilayah itu hingga kini tergabung di Desa Mataramudik, Kecamatan Bandarmataram. Wilayah itu dinilai telah memenuhi seluruh syarat administratif untuk menjadi desa definitif. Terkhusus SP1 dan SP2, sedangkan SP3 luas wilayahnya belum memenuhi syarat.
Munir menyebut, aspirasi itu datang langsung dari masyarakat yang merasa sudah memenuhi syarat administratif untuk naik status.
“Warga SP1, SP2 dan SP3 sudah puluhan tahun menunggu status desa definitif. Mereka punya sekolah, masjid, lapangan, bahkan sarana-prasarana lengkap. Jumlah penduduknya pun sudah lebih dari 550 kepala keluarga, sesuai syarat pembentukan desa,” kata Munir, Selasa (8-7-2025).
Munir menyampaikan bahwa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melalui Dirjen Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi telah mengirim surat resmi kepada Bupati Lampung Tengah pada 8 November 2023.
Surat itu menyatakan bahwa lahan di SP1 dan SP2 sudah tidak bermasalah, sehingga secara prinsip dapat direkomendasikan menjadi desa definitif, mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penataan Desa.
Sementara itu, untuk SP3, Munir menyebut Pemkab diminta segera berkoordinasi dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XX Bandarlampung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta instansi terkait lainnya.
Hal itu menyangkut penggantian lahan usaha transmigrasi seluas 350 hektare yang masih berstatus kawasan hutan.
“Indonesia sudah merdeka, tapi ada warga transmigran di Lampung yang belum merasakan kemerdekaan administratif. Sejak 1997, mereka tinggal di sana tapi belum punya status desa. Ini harus kita perjuangkan bersama,” ujar Munir.
Munir mendesak Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya untuk segera mengambil langkah konkret.
“Bupati harus bersurat ke Kementerian Dalam Negeri dan stakeholder lainnya agar proses peningkatan status Wayterusan SP1, SP2 dan SP3 segera tuntas,” tegasnya.
Ia juga meminta pihak perusahaan Indo Lampung, anak usaha Sugar Group Companies (SGC), yang menaungi kawasan tersebut, untuk melepas wilayah SP1, SP2, dan SP3 agar bisa ditetapkam sebagai desa.
Munir menyatakan, akan membawa isu itu ke tingkat pimpinan DPRD Provinsi Lampung, Gubernur Lampung, serta Komisi I agar percepatan pendefinitifan desa ini menjadi prioritas.
“Saya anggap ini pekerjaan rumah saya yang belum tuntas,” katanya.
Dia juga menyebut, di daerah tersebut belum lama merasakan listrik, setalah menduduki wilayah itu sejak 1997 silam.
Sebagai wakil rakyat dari Dapil Lampung Tengah, Munir menuturkan hal yang dirasakan masyarakat setempat.
"Karena belum definitif, mereka belum merasakan sebagai warga negara semestinya, jalan masih terbuat dari tanah. Bantuan, dana desa pun belum ada, karena belum menjadi desa definitif," tuturnya.
Diketahui, berdasarkan surat Dirjen Transmigrasi Nomor: 595/317/D.a.VI.08/2023, ada enam poin penting yang ditegaskan pemerintah pusat, diantaranya;
1. UPT Way Terusan SP.1 (1997/1998), SP.2 (1998/1999), dan SP.3 (1999/2000) sudah diserahkan pembinaannya ke Pemkab Lampung Tengah melalui SK Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2009.
2. Lahan SP.1 dan SP.2 sudah tidak bermasalah, sementara SP.3 masih masuk dalam Register 47 (Hutan Produksi Tetap).
3. Pemprov Lampung dan Kementerian LHK sepakat melakukan tukar guling 350 Ha lahan hutan dengan 650 Ha lahan pengganti yang kini sudah digarap masyarakat SP.3.
4. Way Terusan SP.1 dan SP.2 direkomendasikan untuk ditingkatkan statusnya menjadi desa definitif sesuai Permendagri Nomor 1 Tahun 2017.
5. Penyelesaian lahan SP.3 diminta segera dikoordinasikan oleh Pemkab Lampung Tengah dengan Kementerian LHK dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
6. Semua penyelesaian di wilayah transmigrasi menjadi tanggung jawab Pemkab Lampung Tengah, dengan catatan mengedepankan kepentingan masyarakat eks transmigran dan menjaga stabilitas sosial. (**)
Editor: Agus Setyawan