MOMENTUM, Bandarlampung--Presiden diminta segera menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (Perppu) penundaan Pilkada. Hal itu sekaligus memastikan realokasi anggaran Pilkada ke penanganan wabah Covid-19 dan penyakit yang disebabkan virus korona baru. Sejauh ini, lewat Surat Keputusan KPU Nomor 179 Tahun 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sudah memutuskan untuk menunda empat tahapan Pilkada yang berada dalam rentang waktu hingga 28 Mei 2020.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Perppu memberikan legalitas penundaan sebelum berakhirnya masa penundaan tahapan Pilkada yang diputuskan oleh KPU. Meski begitu, Perppu sebaiknya terbit lebih cepat tanpa perlu menunggu hingga batas akhir waktu penundaan tahapan yang sudah ditentukan KPU. Titi mengatakan hal itu berkaitan dengan rencana pemerintah merealokasi dana Pilkada untuk penanganan wabah Covid-19.
Setidaknya ada tiga materi muatan yang harus diatur dalam Perppu Pilkada. Pertama, soal perubahan jadwal Pilkada, termasuk kapan dan pada tahapan mana yang akan menjadi titik mula keberlanjutan tahapan pasca penundaan. Kedua, jaminan dan mekanisme kesinambungan jabatan personel adhoc pemilihan yang telah telanjur direktur oleh KPU dan Bawaslu sebelum Pilkada diputuskan ditunda. Ketiga, sumber penganggaran dan mekanisme penganggaran untuk pembiayaan Pilkada pascapenundaan. Apakah bersumber dari APBN, APBD, atau kombinasi keduanya.
Sebelumnya, Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan KPU sudah memiliki tiga opsi hari pemungutan suara pilkada 2020 pasca penundaan, yakni 29 Desember 2020, 17 Maret 2021, serta 29 September 2021. Saat ini KPU sedang menunggu masukan dari penyelenggara Pemilu di daerah terkait persiapan pelaksanaan dimulainya kembali tahapan Pilkada.
Dalam kaitan pengawasan Pemilu termasuk Pilkada, pesan khusus disampaikan anggota Komisi II DPR dari Fraksi NasDem Syamsul Lutfhi, kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI. Di usia Bawaslu yang genap 12 tahun, praktik politik uang masih merajalela. Menurut Syamsul, perlu sanksi tegas kepada pelaku parasit demokrasi. Salah satu ganjalannya, sanksi yang berbeda antara UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menyepakati hal itu. Bawaslu dapat berbuat lebih, terutama dalam menekan kemunculan politik uang bila kewenangan yang diberikan negara lebih kuat.
Segera disiapkan
Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada pada Pasal 201 ayat 6 secara eksplisit mengatur pilkada serentak hasil pemilihan 2015 dilaksanakan pada September 2020. Ketentuan pasal itu harus direvisi melalui Perppu.
Terkait hal tersebut, Presiden Joko Widodo dapat segera menugaskan kementerian/lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan Perppu penundaan Pilkada yaitu Kemenko Polhukam, dengan mengoordinasikan persiapan pembuatan Perppu penundaan Pilkada 2020 dengan dibantu Kementerian Dalam Negeri, Kemenkumham, Badan Intelijen Negara (BIN), Mabes Polri, Mabes TNI, DKPP RI, Bawaslu dan KPU RI.
Keberadaan Perppu penundaan Pilkada 2020 ini penting sebagai payung hukum keberlanjutan pelaksanaan Pilkada pasca berakhirnya wabah Covid-19 (yang belum dapat dipastikan kapan berakhirnya, apalagi sudah ada temuan dari Universitas Cambridge, Inggris bahwa Covid-19 sudah bermutasi menjadi tiga gen turunannya). Sedangkan, isi daripada Perppu itu sendiri selain menyangkut masukan dari Perludem juga dapat dimintakan masukan strategis dari kementerian dan lembaga negara yang selama ini mengawasi, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pilkada di Indonesia selama bertahun-tahun. Bagaimanapun juga, Perppu penundaan Pilkada 2020 segera disiapkan, agar tidak melahirkan permasalahan baru ke depan.(**)
Oleh: Victor Alfons Jigibalom, penulis adalah pemerhati masalah nasional.
Editor: Harian Momentum