MOMENTUM, Bandarlampung-- Seruan tolak politik uang kian masif dikampanyekan aparatur di Kota Bandarlampung.
Ada yang berbentuk poster. Isinya memuat tentang ancaman pidana sesuai Pasal 187 A Undang- undang nomor 10 tahun 2016.
Dalam maklumat itu tercantum logo Komisi Pemilhan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung.
Meski pencatunman logo dua penyelenggara pemilu itu belum mendapat izin, tapi poster seukuran kertas HVS A4 itu sudah banyak beredar.
Lurah memerintahkan ketua rukun tetangga (RT) dan anggota perlindungan masyarakat (Linmas) untuk menempelnya di ruang publik. Di wilayah kerja masing- masing.
Tidak cukup berupa poster, anjuran tolak politik uang juga disampaikan melalui pengeras suara. Rekaman ceramah dua ustaz kondang diputar sejak matahari terbit hingga terbenam, di setiap lampu merah.
Tujuannya sangat baik. Mengedukasi masyarakat agar terciptanya pemilu yang jujur dan bersih, guna mendapat pemimpin yang berkualitas.
Saya sangat mendukung itu. Persoalannya, aturan itu saat ini belum berlaku. Ibarat bayi, lahirnya prematur. Belum cukup umur. Kenapa? Karena saat ini belum ada penetapan calon kepala daerah oleh KPU setempat.
Artinya, UU nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada yang selama ini dijadikan acuan oleh pemkot Bandarlampung belum bisa dipakai. Kecuali nanti ketika sudah ada penetapan calon oleh KPU.
Lantas untuk apa lurah dan camat sibuk menghalangi kegiatan sosialisasi dan bagi sembako oleh tim Yusuf Kohar dan Rycko Menoza? Entahlah. Bukan kapasitas penulis untuk menjawabnya.
Hanya saja, sangat naif jika anda mempersoalkan pembagian sembako yang mereka lakukan. Sementara tim Eva Dwiana dibiarkan bebas membagi masker ke warga sembari menyemprot disinfektan.
Apakah anda pernah menanyakan izin kepada petugas penyemprot disinfektan itu?
Apa pernah izin sosialisasi mereka ditanyakan juga? Karena sangat jelas pada alat semprot yang mereka pakai terpasang gambar Eva Dwiana.
Kenapa tidak dipersoalkan juga aksi bagi- bagi maskernya? Toh barang itu sama saja dengan sembako yang dibagikan dua kandidat lain. Apa takut karena Eva Dwiana istri walikota?
Sudahlah. Hentikan tindakan konyol itu. Anda semua orang- orang pintar. Mayoritas berpendidikan tinggi. Jangan sampai dinilai bodoh oleh warga, hanya karena melaksanakan instruksi atasan yang tidak masuk akal.
Warga sudah jengah dengan perilaku yang tebang pilih, selama ini. Ingat, Aparatur Sipil Negara (ASN) seharusnya bersikap netral dalam pilkada. Bertindaklah sesuai aturan. Bukan sesuai keinginan pimpinan. Tabikpun. (**)
Editor: Harian Momentum