Lagi-lagi Ekonomi, Kapan Hutan Lestari?

img
ilustrasi kerusakan hutan.

MOMENTUM, Bandarlampung--Lestari merupakan istilah yang tak asing bagi kita.Meski begitu sebagian besar dari masyarakat belum memahami betul apa itu makna lestari. Secara umum lestari memiliki arti kekal atau bertahan. Sedangkan secara khusus, lestari mengandung makna keberlanjutan dalam proses pengelolaan. Penerapan istilah lestari salah satunya berada dalam sistem pengelolaan hutan.

Dalam konteks pengelolaan hutan secara lestari” lestari di dalam kalimat tersebut mengarah pada pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan yang tidak hanya mementingkan satu aspek yaitu ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek lain seperti aspek ekologi dan sosial untuk terjaminnya sumber daya tersebut agar dapat dimanfaatan di masa kini dan masa mendatang.

Pada kenyataanya pengolahan hutan secara lestari  belum benar-benar diterapkan di Indonesia. Pengelolaan hutan secara lestari masih menjadi omong kosong yang pantas untuk ditinaklanjuti dalam hal merealisasikannya. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena sebagian besar dari masyarakat, lembaga maupun pemerintah hanya mementingkan aspek ekonomi dibandingkan aspek ekologi dalam suatu pengelolaan hutan.

Onum-oknum diatas menyalagunakan wewenang mereka sebagai pemegang hak atas pengelolaan yang ada. Penyalahgunaan wewenang tersebut dilakukan semata-mata untuk mementingkan isi perut masing-masing individu dan tidak mementingkan tingkat kesejahteraan masyarakat  maupun keletarian dari lingkungan sekitar. Banyak sekali contoh nyata tentang kasus seperti ini dalam kehidupan sehari-hari salah satunya yaitu pada sektor ekowisata.

Berbicara mengenai ekowisata, ekowsiata memiliki makna sebagai penyelenggaraan kegiatan berbasis alam dengan tujuan menikmati keunikan alam, pendidikan, apresiasi alam serta mendukung kegiatan konservasi dan ekonomi secara berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Seperti yang kita ketahui minat masyarakat terhadap ekowisata sangat tinggi. Adanya kejenuhan masyarakat untk mengunjungi wisata buatan membuat adanya pergeseran minat terhadap keunikan dan keindahan alam setempat. Hal ini yang membuat masyarakat, lembaga maupun pemerintah berlomba-lomba dalam mengembangkan ekowisata di Indonesia.

Namun lagi-lagi kegiatan pengembangan tersebut lebih mementingkan aspek ekonomi dibandingkan ekologi. Hal tersebut dapat kita lihat dengan adanya penggunaan lahan atau eksploitasi lahan secara besar-besaran untuk pembangunan infrastruktur yang tidak terkendali. Tidak tidak adanya pembatasan wilayah atau lahan yang diperuntukkan khusus untuk pembangunan infrastruktur pada suatu ekowisata. menjadi pemicu timbulnya eksploitasi tersebut.

Dengan tidak adanya pembatasan wilayah maka masyarakat, lembaga maupun pemerintah yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal itu untuk mengisi dompetnya masing-masing. Tidak adanya payung hukum mengenai luasan maksimal untuk pembangunan infrastruktur membuat adanya eksploitasi lahan yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Hal tersebut sungguh miris. Yang pada awalnya ekowisata ditujukan untuk menjaga kelestarian alam justru membuat lingkungan tersebut terdegradasi akibat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan hal tersebut seharusnya dibuat kebijakan tersendiri dari pemerintah maupun lembaga terkait mengenai batas luasan pembangunan infrastruktur di masing-masing ekowisata. Dengan begitu eksploitasi yang berlebihan dapat ditekan seminim mungkin. Pemberdayaan masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan ataupun pengembangan ekowisata berdasarkan keseimbangan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial juga amat sangat penting dilakukan untuk menumbuhkan rasa kepedulian terhadap lingkungan serta menambah pengetahuan mengenai pengelolaan dan pengembangan ekowisata yang baik dan benar dalam mewujudkan ekowisata yang berkelanjutan atau yang disebut lestari.

Berkaitan dengan tujuan ekowisata untuk konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu diterapkannya skema willingness to pay (WTP). Skema ini memuat tentang adanya timbal balik berupa bayaran atau insentif dari pemakai jasa lingkungan terhadap penyedia jasa lingkungan tersebut. Di dalam skema ini pemakai jasa lingkungan atau pengunjung ekowisata dapat membayar sebagai bentuk insetif daripemakaian atau kujungan ke ekowisata tersebut. Yang dimana nantinya insentif tersebut dapat dipergunakan oleh masyarakat sekitar maupun pokdarwis untuk rehabilitasi lahan yang digunakan untuk ekowisata disekitarnya dan juga turut meningkatkan pendapatan masyarakat dari pembayaran atas fasilitas yang ada.

Skema willingness to pay (WTP) tidak hanya berfokus pada kegiatan rehabiitas lahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun ikut turut menekan terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata. Hal ini dikarenakan pada skema tersebut terdapat beberapa kontrak mengenai pengelolaan yang dilakukan dan sanksi bagi pelanggarnya. Selain itu skema ini cukup efisien karena melibatnya semua oknum dan aspek dalam penerapannya.

Partisipasi masyarakat, lembaga dan pemerintah yang bertanggung jawab serta adanya kombinasi dari penetapan kebijakan lahan, pemberdayaan masyarakat serta skema WTP diharapkan mampu membuat adanya perubahan dalam pengelolaan maupun pengembangan ekowisata di Indonesia. Dengan begitu pengelolaan yang lestari yang mementingkan semua aspek tidak hanya ekonomi tidak hanya menjadi angan-angan saja namun dapat terealisasikan di kehidupan kita.(**)Oleh: Kheynad dan Bainah Sari Dewi, Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Oleh: Kheynad dan Bainah Sari Dewi, Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.






Editor: Agus Setyawan





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos