SIM DAN STNK yang Membahagiakan

img
Muhammad Furqon - Dewan Redaksi Harian Momentum. Foto. Dok.

MOMENTUM -- Menunggu itu membosankan. Menyebalkan. Bahkan, bisa membuat emosi jiwa. Ketika harus menunggu tanpa tahu kapan waktu penantian itu berakhir.

Dalam keseharian, cukup banyak hal yang sederhana tapi membuat kita kesal. Karena ulah konyol orang lain, kita kena getahnya, harus menunggu.

Saat antre di ATM untuk mengambil uang. Terus yang paling depan, pencat-pencet tust angka di layar ATM berulang-ulang. Seolah merasa ATM milik pribadi. Sudah begitu, setiap lembar uang yang keluar dari ATM, dihitung dulu sebelum dimasukkan saku atau tas. 

Lha, emang kalau jumlah uang tak sesuai dengan yang ingin diambil, mau protes ke ATM? Ini namanya orang kena penyakit saraf gak tahu diri.

Terus, ada lagi yang menggelikan bin menyebalkan. Antrean beli bensin di SPBU. Kendaraannya digoyang-goyang. Mungkin maksudnya, biar tanki bensin kendaraannya terisi penuh, sepenuh-penuhnya. Kalau bisa, sampai luber.

Hei! Kasih tahu ya! Yang masuk itu bensin, benda cair. Ke mana pun ada ruang kosong, bensin akan mengalir. Apa dikira seperti mengisi karung dengan beras. Perlu digoyang-goyang biar benar-benar penuh? Jangan-jangan, orang itu kepalanya yang sedang goyang. Kalau bener, ya, maklumi saja.

Itu kasus menunggu yang hanya perlu beberapa saat. Gak habis mengngisap satu batang rokok kretek. Sekitar lima sampai sepuluh menit. Paling banter, seperempat jam. Ini pun sudah bisa membuat emosi. Terutama ketika ada manusia berulah konyol: Menghitung uang di depan ATM dan menggoyang-goyangkan tanki bensin kendaraan.

Soal menunggu, masih ada yang lebih seru dan seram. Sehingga banyak orang ingin menghindari. Yaitu, ketika mengurus surat menyurat mobil atau sepeda motor. Termasuk plat nomor kendaraan. Untuk memperoleh haknya sebagai pemilik kendaraan, harus menunggu satu hingga dua bulan. Seru, kan?

Misalnya, mengurus mutasi surat kendaraan atau biasa disebut mencabut berkas. Untuk mutasi dari satu wilayah provinsi, dibutuhkan sekitar satu bulan. Itu pun, kata teman yang sedang mengurus mutasi surat kendaraannya, sudah menggunakan jasa ordal. 

Sementara untuk mutasi dari Jakarta ke Bandarlampung, misalnya. Butuh waktu hingga dua bulan. Asyiknya, petugas kantor Samsat di Jakarta, tidak memberikan waktu kepastian waktu. Misalnya, dua bulan itu tanggal sekian bulan sekian.

Tidak jelas. Apa alasan petugas Samsat Jakarta hanya meminta: "Dua bulan lagi, berkas mutasi kendaraannya bisa diambil!" Padahal kan bisa, misalnya, dua bulan itu 18 Januari 2025, berkas bisa diambil.

Meski ada kepastian waktu, sebenarnya juga masih ajaib bin aneh aja. Kenapa berkas tidak langsung beres pada hari pemilik kendaraan mengurus mutasi? 

Kalau pada era naik bus kota bayar dengan uang koin seratus perak, bisa dipahami. Ketika itu, pengisian identitas kendaraan di STNK dan BPKB masih ditulis tangan. Tapi itu kan sekarang. Pada era digital yang menuntut serba cepat. Namun, pelayanan Samsat masih seperti itu. 

Pertanyaannya. Apakah sistem dan peralatan canggih yang bernilai miliaran rupiah, tidak bisa membantu petugas kantor Samsat bekerja secara cepat, efektif dan efisien? 

Okelah. Kalau proses mutasi atau urusan lain yang terkait dengan surat kendaraan bermotor di Samsat tidak bisa kelar sehari, dan harus menunggu sampai beberapa hari ke depan.

Petugas Samsat kan bisa bekerja sama dengan jasa kurir, PT Pos Indonesia, misalnya. Berkas kelar, langsung dikirim kepada pemiliknya. Biayanya? Minta saja pada pemilik kendaraan saat mengurus berkas. Pasti disambut dengan riang gembira.

Syukur, kalau Samsat bisa memberi kabar via sms atau website, bahwa berkas sudah dikirim kepada pemiliknya.

Tak perlu bolak balik untuk satu urusan. Merepotkan. Bukan hanya soal biaya. Tetapi juga waktu. Padahal, para pemilik kendaraan itu sedang menjadi warga yang patuh terhadap negara, memenuhi kewajibannya. Untuk warga seperti ini, seharusnya diberi kemudahan semudah-mudahnya. 

Masih ada keunikan lain. Yaitu, jika membeli mobil atau sepeda motor yang tidak se-wilayah dengan asal kendaraan, harus mutasi. Misalnya, warga Bogor membeli kendaraan bernomor polisi jakarta. Maka harus cabut berkas alias mutasi ke daerah sesuai alamat KTP pembeli. 

Ini unik. Meski masih dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia, tak cukup hanya dengan balik nama. Kenapa tidak sekalian, berlaku untuk pembelian tanah atau rumah? Serem, kan?

Dengan kondisi seperti itu, maka wajar, misalnya, banyak yang enggan mematuhi kewajibannya terhadap terhadap negara. Hanya orang baik hati yang rela bersusah-susah untuk kehilangan uang, waktu dan tenaga karena membayar pajak.

Ini bukan provokasi, apalagi mengajak masyarakat, untuk tak bayar pajak kendaraan bermotor.

Tapi, bisa menjadi bagian dari promosi mengakhiri derita rakyat. Dari kasus menunggu yang menyesakkan menjadi membahagiakan. 

Bisa juga, untuk ikut mendorong pemerintah menghapus agenda tahunan dan lima tahunan warga, karena harus ngurus pajak dan ganti plat nomor. Dengan menjadikan STNK dan SIM (surat izin mengemudi), berlaku seumur hidup. Serta tak lagi pajak kendaraan bermotor atau PKB yang harus bayar setiap tahun. Seperti yang kini sedang bergema kembali di Gedung DPR RI.

Tabik.

Muhammad Furqon - Dewan Redaksi Harian Momentum







Editor: Muhammad Furqon





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos