MOMENTUM, Bandarlampung--Perwakilan serikat buruh baru saja bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pertemuan itu membahas mengenai omnibus law RUU Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas di DPR RI.
Pertemuan digelar di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Perwakilan serikat buruh yang hadir di antaranya Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silalaban.
"Intinya yang pertama 3 presiden buruh bertemu dengan pak Jokowi memberikan masukan soal omnibus law cluster ketenagakerjaan. Kita ingin serikat buruh bisa dilibatkan secara lebih aktif dalam pembahasan dan Presiden mendengar dengan sangat-sangat baik," kata Andi Gani usai bertemu Jokowi. Selain itu, persoalan PHK di tengah pandemi virus Corona juga ikut dibahas. Perwakilan serikat buruh meminta Jokowi untuk mengambil langkah strategis untuk menghadapi gelombang PHK.
"Dan juga banyaknya THR yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Nah ini menjadi perhatian semua. Dan nuga mengenai kenapa serikat buruh begitu keras menolak omnibus law klaster ketenagakerjaan. Itu yang kami bahas secara terbuka tadi," ujarnya. "Dan Presiden mendengarkan dan merespon dengan cukup baik," sambung Andi Gani.
Makna
Sampai tulisan ini dibuat, belum terlalu banyak respons atau tanggapan yang masuk dari berbagai kalangan masyarakat apakah dari BEM, buruh, NGO, akademisi atau kelompok profesi lainnya terkait pertemuan Jokowi dengan Elly Rosita Silaban, Said Iqbal dan Andi Gani Nuwawea membahas RUU Omnibus Law dan kemungkinan juga membahas rencana Mayday 2020.
Yang pasti ada beberapa makna dari pertemuan antara kepala negara dengan tiga orang tokoh buruh yaitu : pertama, pemerintah mau mendengarkan aspirasi kalangan buruh, termasuk berbagai kalangan lainnya terkait RUU Omnibus Law Ciptaker, apalagi buruh sebagai “episentrum” yang akan langsung menerima getahnya jika RUU ini dibahas secara sembarangan.
Kedua, Presiden Jokowi menunjukkan bahwa demokrasi tetap dihargai di masa kepemimpinannya, karena Presiden jelas mendengar dan memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat baik melalui media massa atau sumber terbuka maupun melalui “kalangan telik sandi” untuk mengetahui dan memahami apa makna “dibalik sisi gelap sebuah permasalahan” seperti yang selama ini dituntut Jokowi kepada komunitas “telik sandi” sebagai cara untuk mengukur outcome mereka.
Ketiga, pertemuan itu jelas menggambarkan adanya keinginan kolegial atau bersama-sama bahwa pembahasan RUU Omnibus Law akan dilakukan secara transparan dan demokratis, serta peringatan Mayday 2020 sebaiknya tidak dilakukan dengan melibatkan massa yang besar karena pemberlakuan PSBB.
Keempat, kemungkinan pertemuan tersebut juga untuk mengetahui apa sebenarnya yang diinginkan elemen buruh sehingga mereka tetap bersikeras ingin menggelar aksi unjuk rasa yang direncanakan tanggal 30 April 2020 tersebut, sehingga dengan adanya pertemuan tersebut otomatis Presiden sudah mendengarkan seluruh aspirasi elemen buruh. Oleh karena itu, untuk menjaga kondusifitas keamanan, maka sebaiknya organisasi buruh dan massanya tidak perlu menggelar aksi unjuk rasa ke DPR RI dan Kantor Menko Perekonomian, karena aspirasinya sudah didengar oleh kepala negara. Semoga.(**)
Oleh: Yitno Roto Suprayogitomo, penulis adalah pemerhati masalah politik nasional.
Editor: Harian Momentum