MOMENTUM--Prosesi pemilihan walikota (Pilwakot) Bandarlampung lebih menarik dibandingkan tujuh kabupaten/ kota lainnya.
Posisinya sebagai ibukota provinsi Lampung tentu membuat elit politik dan pemangku kebijakan menaruh perhatian besar dalam setiap prosesnya.
Hingga tidak berlebihan kiranya jika Walikota Bandarlampung Herman mengeluarkan regulasi melalui perwali nomor 18 tahun 2020.
Aturan tentang pedoman pencegahan penyebaran Covid-19 melalui protokol kesehatan di Bandarlampung itu mulai diberlakukan sejak 10 Juli 2020.
Banyak pihak menduga, lahirnya perwali itu untuk dijadikan alat politik mendukung posisi istrinya yang mencalonkan diri sebagai walikota setempat. Kok bisa?
Dengan dalih pencegahan penyebaran covid-19, bakal calon walikota selalu dihalangi dalam melaksanakan sosialisasi di tengah masyarakat.
Setiap pengumpulan massa harus mendapat rekomendasi izin dari gugus tugas. Hal itu tertuang dalam pasal 17 ayat 1, perwali tersebut.
Lalu, pada ayat dua berbunyi setiap pemberian barang/alat (bantuan) harus melalui gugus tugas tingkat kecamatan untuk menghindari penyebaran covid-19.
kemudian, setiap pertemuan yang mengumpulkan massa bersifat sosialisasi tidak boleh melebihi 10 orang. Sehingga tidak menyebabkan terjadinya kerumunan dan wajib memenuhi protokol kesehatan.
Menurut saya aturan dalam pasal itu sangat bagus untuk mengendalikan penyebaran covid-19.
Tapi nuansa politiknya sangat kental. Sebab, di pasal itu hanya disebutkan pengumpulan massa yang bersifat sosialisasi.
Artinya hanya ditujukan untuk bakal calon walikota atau wakil walikota saja. Lalu untuk kegiatan lainnya bagaimana? Nyaris tidak diperhatikan.
Begitu banyak resepsi pernikahan di Bandarlampung yang tidak menggunakan protokol kesehatan. Kenapa tidak dibubarkan?
Padahal orang yang berkumpul dalam kegiatan itu lebih dari 10 orang. Bahkan bisa lebih dari seratus.
Contoh lain, saat pendaftaran bakal pasangan calon walikota dan wakil walikota beberapa hari lalu melibatkan ratusan orang. Apakah ada pembubaran?
Padahal sudah jelas diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 6 tahun 2020, pendaftaran cukup dihadiri bakal calon, perwakilan partai politik pengusung dan panitia penerima berkas administrasi.
Tapi nyatanya di lapangan bagaimana? Kenapa itu juga tidak ditindak? Kalau memang ingin menegakkan aturan harusnya dibubarkan juga dong.
Baik oleh camat, lurah atau RT dibawah instruksi walikota. Kan katanya tahu aturan. Masa yang lebih berpotensi bahaya tidak dibubarkan.
Apa jangan-jangan perwali itu dibuat khusus untuk menjatuhkan dan menguntungkan salah satu bakal calon saja?
Entahlah. Saya juga heran dengan rezim ini. Kesannya kok suka-suka bikin aturan. Hanya untuk menguntungkan dan menjatuhkan salah satu bakal calon.
Harusnya kalau memang untuk melindungi masyarakat dari covid-19, penerapan perwalinya harus adil dan tidak tebang pilih.
Belum pernah saya mendengar berita sosialisasi Eva Dwiana dan Dedi Amarullah dibubarkan aparatur.
Saya sangat mengapresiasi jika aturan yang ada diterapkan secara adil. Artinya peran pemerintah dalam melindungi rakyatnya sudah baik. Jangan sampai timbul kesan rezim suka-suka bikin aturan.
Itu hanya pendapat saya saja sih. Ya kalau memang salah, saya minta maaf. Tidak ada maksud hati ini menyindir. Cuma gemes saja melihat penerapannya di lapangan. (*)
Editor: Harian Momentum