Oleh Nanang Trenggono
MOMENTUM -- Pilkada secara nasional, seluruh provinsi, kabupaten, kota, dilaksanakan serentak pada Rabu, 27 November 2024. Peristiwa pemilu besar ini baru pertama kali dilakukan di Indonesia.
Selain baru pertama kali, juga digelar pascapemilu 2024 yang masih menyisakan kekecewaan di kalangan peserta pilpres, pileg, dan di lingkungan masyarakat.
Tentu, kita wajib belajar dari kekurangan, baik dalam pilpres maupun Pileg 2024. Dapat disimpulkan, salah satu yang perlu dikoreksi dan tidak berulang adalah perspektif, sikap, dan perilaku pejabat publik untuk bersikap adil dan setara kepada semua calon atau paslon. Dalam pilkada adalah bersikap adil kepada calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, dan walikota serta wakil walikota.
Dalam UU Pilkada dirumuskan dalam pasal yang menyatakan bahwa pejabat publik seperti gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, camat, atau lurah/kepala desa, tidak mengeluarkan pernyataan, sikap, perilaku atau kebijaksanaan yang merugikan atau menguntungkan para calon/paslon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Memang, UU tidak mengatur tentang sikap pejabat publik kepada bakal calon atau bakal pasangan calon. Tidak ada pengaturan dalam UU, tidak selalu dimaknai sebagai kelemahan regulasi. Karena, faktor utama dan determinan itu, adalah agen, subjek atau aktor pejabat untuk menempatkan bersikap adil sebagai nilai tertinggi untuk membangun pilkada serentak nasional yang jujur dan adil.
Oleh karena itu, para pejabat publik perlu memiliki kesabaran, dan menahan diri untuk bersikap berlebihan, jauh dari rasa keadilan bagi kepentingan menciptakan pilkada yang demokratis dan mendorong pemilih yang otonom. (**)
Nanang Trenggono - Dosen Komunikasi Politik Universitas Lampung
Editor: Muhammad Furqon