Harianmomentum.com--Mery Farida (23),
mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), mencatatkan dirinya
sebagai mahasiswi Universitas Lampung (Unila) terbaik dari sebanyak 576
wisudawan dan wisudawati.
Rektor Unila, Hasriadi Mat Akin mengukuhkan nama Mery Farida
dengan berpredikat cumlaude atau dengan pujian dalam prosesi wisuda periode V
tahun akademik 2017/2018 yang bertempat di Gelanggang Sumpah Pemuda, PKOR,
Wayhalim, Bandarlampung, Rabu (23/5/18).
Mery merupakan anak dari pedagang mainan yang lulus dengan
Indeks Prestasi Komulatif (IPK) tertinggi yakni 3,92.
Saat diwawancarai awak media, Mery mengaku tidak ada metode
khusus dalam belajar selama ia mengikuti perkuliahan.
“Enggak ada metode khusus dalam belajar, saya sama dengan
mahasiswa biasa lainnya. Ketika dapat pelajaran dari kuliah, aku ulang lagi di
rumah,” kata Mery.
Kata Mery, dirinya adalah tipe orang yang mudah ingat, tapi
mudah juga lupa. Maka, dia selalu rajin membaca saat berada di rumah.
“Kalau besok ujian, malamnya aku belajar. Belajar biasanya di
rumah habis magrib, isya berhenti, lanjut lagi sampai jam 11 malam. Abis salat
subuh, belajar lagi," jelas Mery.
Anak kedua pasangan Lukman dan Peristiwi Dayu Hartati ini
memiliki motivasi kuat untuk menyelesaikan kuliahnya agar bisa menjadi orang
berhasil. Semangat itu ia dapatkan dari kedua orang tua dan ketiga saudaranya.
“Saya di sini kuliah untuk orang tua, itu yang selalu saya
ingat terus. Karena ketika kita capek, terus ingat itu, saya di sini untuk
orang tua saya, untuk membahagiakan orang-orang di sekitar saya, maka saya
harus berjuang apapun yang terjadi," ungkap Mery.
Cita-cita sang ayah pula yang membuat dirinya semakin terpacu
untuk segera merampungkan kuliah dan menjadi sarjana hukum.
Meski cuma seorang pedagang mainan di salah satu Sekolah
Dasar (SD) di Bandarlampung, namun semangat sang ayah dan ibunya untuk membuat
putrinya menjadi sarjana seolah tak pernah padam.
“Bapak saya pernah bilang gini, ‘Bapak enggak bisa sarjana
tapi seenggaknya anak-anak Bapak harus jadi sarjana. Karena Bapak dulu pengen
banget sarjana. Bapak akan biayain apapun yang kalian mau'. Bapak kan cuma
lulusan SMA dan ibu lulusan SD,” ucap Mery menirukan kata-kata ayahnya dengan
mata berkaca-kaca.
Mery memang berangkat dari keluarga biasa-biasa saja. Semasa
kecil, ia kerap di-bully teman-temannya karena pekerjaan sang ayah mirip
seorang pemulung.
“Dikatain juga Bapak saya pemulung sama teman-teman karena
dagangnya pakai kantong plastik hitam dan motornya jelek. Tapi saya enggak
pernah malu sama mereka, toh kerjaan orang tua halal,” ujarnya.
Bagi dara manis kelahiran 2 April 1995 itu, orang tuanya
adalah pahlawan di hidupnya.
“Orang tua itu hero buat saya. Apapun yang terjadi pasti akan
ada buat saya. Saya bukan anak SMA Negeri, saya di SMA Al Huda Jatiagung, dulu
pulang balik pakai motor bekas punya kakak karena enggak punya uang buat
ngekos. Dulu orang tua enggak punya uang sama sekali, pinjam sana-sini buat
kuliah dan sekolah. Alhamdulillah saya kuliah ini dapat beasiswa juga, jadi
meringankan beban orang tua juga," katanya.
Selain orang tuanya, Mery juga termotivasi dengan jejak sang
kakak yang kini sudah bekerja di salah satu lembaga pemasyarakatan (Lapas).
“Kakak saya alhamdulillah sudah kerja di lapas. Itu salah
satu motivasi saya adalah kakak saya, karena dia bilang ‘kalau kamu orang kaya,
kamu enggak apa-apa malas belajar, tapi kamu sadar nggak orang tua kita kerja
apa, jadi kalau kamu pengen maju, ya kamu belajar’. Jadi kakak saya itu
motivasi buat saya walaupun dia galak dan suka marah kalau saya malas-malasan,”
bebernya.
Setelah resmi menyandang gelar akademik sarjana hukum, Mery
bercita-cita ingin menjadi seorang hakim.
“Setelah
lulus pasti kerja, mau S-2 ada biaya lagi. Pengen daftar kehakiman, mau coba
dulu, semoga saja berhasil. Ini juga sambil cari-cari beasiswa S-2,”
pungkasnya.(acw)
Editor: Harian Momentum